VdBackground 01.jpg

Mana yang Lebih Penting dalam Memimpin? Kecerdasan atau Keberuntungan? [bagian 2]

Print
Created on Wednesday, 10 July 2019 Last Updated on Tuesday, 01 October 2019 Written by Phi-D



Pada artikel sebelumnya telah dibahas setidaknya 3 (tiga) kriteria utama yang memperlihatkan bahwa seseorang dapat memimpin sebagai direktur utama atau CEO dari sebuah perusahaan (baca artikel lengkapnya pada artikel:  Mana yang Lebih Penting dalam Memimpin? Kecerdasan atau Keberuntungan? [bagian 1]). Akan tetapi, ketiga kriteria minimal tersebut juga perlu dilengkapi setidaknya oleh satu keterampilan lainnya lagi, yaitu keterampilan untuk mengendalikan banyak hal sekaligus.

Tidak dapat dipungkiri bahwa memimpin suatu perusahaan membutuhkan banyak perhatian pada begitu banyak detil untuk dapat mengeksekusi sebuah aksi yang dapat memberikan keuntungan perusahaan dan memastikan keberlanjutan sebuah usaha. Terdapat begitu banyak hal yang dapat menciptakan peluang dan di saat yang bersamaan muncul juga banyak hal yang dapat mengancam dan membahayakan suatu perusahaan. Untuk itu, keterampilan mengendalikan banyak hal menjadi tuntutan lain bagi seorang yang akan menjadi pemimpin tertinggi suatu perusahaan.

Keterampilan Mengendalikan Banyak Hal

Keterampilan mengendalikan banyak hal memang dapat membentuk karir yang sukses dari seorang CEO atau direktur utama. Akan tetapi pertanyaannya, apakah seseorang dapat benar-benar produktif, kreatif, membuat berbagai keputusan terbaik serta mengeksekusi beragam aksi yang tepat jika terbebani dan kewalahan oleh banyak tanggung jawab, pemikiran, dan tugas yang melelahkan? (Baca juga: Keterampilan untuk Diam dan Tidak Melakukan Apa pun). Oleh karena itu, Lars Sørensen dari Novo Nordisk yang dinobatkan sebagai peringkat teratas Direktur Utama atau CEO (Chief Executive Officer) dengan kinerja terbaik di dunia versi Harvard Business Review menyatakan bahwa KEBERUNTUNGAN adalah satu-satunya FAKTOR KUNCI sehingga ia memiliki keterampilan mengendalikan banyak hal tanpa kebingungan atau pun kelelahan karena kehabisan energi untuk berpikir dan bekerja (baca juga: Kejelasan untuk Menghadapi Kebingungan).

Beberapa orang mengatakan bahwa saat seseorang berada dalam kondisi siap, maka segala kesempatan yang muncul membuat mereka menerima peluang dan diberkahi keberuntungan. Sebaliknya saat seseorang tidak siap, maka segala kesempatan yang muncul malah bisa menjadi tantangan yang mengancam. Namun, seberapa banyak  kesiapan yang harus dimiliki seseorang sehingga dapat dengan BERUNTUNG meraih segala kesempatan yang muncul?

Sebuah penelitian pada tahun 2014 yang ditulis oleh Dirk Jenter dari Stanford dan Fadi Kanaan dari MIT meneliti lebih dari 3.000 CEO dan direktur utama yang diminta mengundurkan diri dan diganti dari pekerjaannya dalam kurun waktu 1993 – 2009. Penelitian mereka memperlihatkan bahwa para CEO ini kebanyakan dipecat dari pekerjaannya karena berbagai faktor yang diluar kemampuan kendalinya (baca juga bahwa semua manusia tidak pernah dapat mengendalikan sepenuhnya apa yang akan terjadi dalam kehidupan di: Ketika Masalah Datang). Dalam meneliti pengaruh CEO, keberhasilan finansial perusahaan ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh faktor industri dan ekonomi makro dibandingkan faktor kepemimpinan CEO dan direktur utama (baca juga bahwa ekonomi nasional tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh satu orang di: Alasan Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan tidak ada yang tahu cara mengendalikan ekonomi dunia di: Slowing Economy. Trade War. Market Highs. Why?). Ini berarti tidak seorang pun dapat tahu berapa banyak persiapan yang harus mereka lakukan dan hal apa saja yang harus dipersiapkan seorang CEO agar dapat meraih segala keberuntungan. Maka tidak heran jika Jenter dan Kanaan menemukan bahwa CEO dan direktur utama lebih banyak dipersalahkan selama resesi atau saat industri yang digeluti perusahaan mengalami masalah, walau pun kecenderungan ini sama sekali tidak tidak berhubungan dengan keterampilan manajerial. Karena itu, para CEO sering kali meminta keberuntungan berpihak pada mereka karena jika tidak beruntung, mereka dapat dipecat dari pekerjaan.

Memang sebuah makalah ilmiah yang diterbitkan oleh Markus Fitza di Texas A&M tahun 2014 memperlihatkan bahwa karir seorang CEO dibentuk oleh keterampilan khusus. Fitza juga memberikan argumen bahwa 2 – 22% kinerja perusahaan yang telah mempengaruhi CEO bisa terjadi karena faktor keberuntungan. Penelitian tentang pengaruh CEO umumnya melihat seberapa dalam pergantian CEO berhubungan dengan kinerja finansial perusahaan, setelah laporan dari faktor lainnya seperti kinerja industri, kinerja ekonomi secara menyeluruh, dan sesuatu yang mirip seperti itu. Jika kinerja sebuah perusahaan buruk selama 4 (empat) tahun berturut-turut di bawah kepemimpinan seorang CEO, lalu CEO lain menggantikan posisinya dengan kondisi ekonomi yang sama tetapi perusahaan memiliki kinerja yang baik, maka itu pun dapat diperhitungkan sebagai pengaruh CEO (baca juga: Mengapa Sulit Melihat Kesalahan Anda Sendiri?). Tetapi kondisi ini sama sekali tidak membuktikan keterampilan apa pun dari seorang CEO.

Bayangkan saat seorang CEO mengemban tanggung jawab tertinggi, mereka perlu mengambil sebuah strategi yang tepat dan strategi itu akan menentukan kedudukan mereka sebagai CEO. Satu strategi dapat membimbing seorang CEO mencapai keberhasilan sedangkan strategi lainnya malah dapat menghancurkan posisinya. Dan dalam hal membuat keputusan untuk strategi yang tepat, tidak pernah ada yang tahu jawabannya secara pasti (baca juga: Mengapa Anda bisa Salah Membuat Keputusan?) Bisa jadi kegagalan CEO pertama dalam contoh di atas disebabkan karena ia membuat strategi yang “jelek” dan CEO berikutnya yang menggantikan kedudukannya telah membuat strategi yang “brilian”. Kasus ini pun merupakan pengaruh CEO yang dapat mengukur faktor keberuntungan dalam kepemimpinan.

Contoh di atas memang dibuat sesederhana mungkin tentang bagaimana para CEO dapat dengan mudah terjebak dalam kegagalan membuat strategi yang tepat karena dihadapan mereka terbentang begitu banyak ketidak-pastian. Sewaktu seorang CEO baru kemudian memegang tampuk kepimpinan dan mengubah haluan, itu seperti menggulingkan dadu permainan TANPA menunjukkan kompetensi apa pun yang lebih baik. Oleh karena itu, pengukuran pengaruh CEO terhadap kinerja perusahaan hanya menunjukkan faktor keberuntungan yang dimiliki tanpa menunjukkan keterampilan yang lebih unggul dari pada keterampilan CEO sebelumnya.

Penelitian Fitza memang digunakan untuk memperkirakan tentang bagaimana banyak orang dibuat yakin bahwa pengaruh CEO pada kinerja perusahaan lebih dikarenakan keterampilannya dibandingkan faktor keberuntungan. Karena itu, Fitza membuat simulasi tentang seberapa besar pengaruh CEO yang dapat Anda lihat dalam data jika diberikan pengacakan dalam kinerja perusahaan. Fitza memperlihatkan bahwa karena ada sedikit data yang ada tentang seorang CEO, maka pengacakan dapat menciptakan ilusi dari pengaruh CEO, walaupun tidak ada keterampilan apa pun yang ditunjukkan oleh CEO tersebut. Fitza menghitung bahwa sewaktu mengurus keseluruhan kinerja perusahaan, para pemimpin tertinggi perusahaan ini hanya menggunakan 4 – 5 % keterampilannya saja (penelitian ini juga menemukan bahwa 2 – 22 % para CEO ini mencoba menggunakan pendekatan yang mirip-mirip tetapi mendapatkan hasil yang berbeda-beda sehingga membuktikan keberuntungan para direktur utama dalam mempengaruhi kinerja perusahaan menjadi lebih baik sedangkan yang lainnya tidak beruntung memberikan pengaruh baik dalam kinerja). Lalu apa yang harus disimpulkan dari semua data dan hasil penelitian ini?

Memang sangat benar jika Anda mengatakan bahwa para pemimpin tertinggi sebuah perusahaan pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki banyak talenta. Akan tetapi, hal ini sebenarnya tidak membedakan para CEO ini dengan para pekerja profesional lainnya, atau pun membuat para CEO dapat memberikan pengaruh untuk memimpin perusahaannya meraih kesuksesan atau kegagalan. Talenta para pemimpin tertinggi perusahaan ini juga tidak menjelaskan alasan mereka dibayar sangat tinggi dibandingkan para pekerja profesional lainnya. Sebaliknya keberuntungan dan keterampilan berprasangka telah membuat para CEO dan direktur utama malahan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan siapa yang akan memimpin perusahaan, tidak soal apakah mereka akan dipecat atau akan tetap menjadi pemimpin tertinggi dalam industri yang mereka geluti.

Maka dari itu, untuk menjadi pemimpin tertinggi dari sebuah perusahaan memang dibutuhkan kecerdasan, kemampuan berbicara, keterampilan khusus, dan karakter yang baik. Akan tetapi pemimpin tertinggi ini tidak harus selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal atau menjadi yang paling cemerlang di antara semua orang. Satu hal yang pasti, para pemimpin ini perlu memastikan keberuntungan selalu berpihak pada mereka. Dalam dunia religi, penganut yang loyal dan rohani akan menerjemahkan kata keberuntungan sebagai berkat atau pahala dari Pencipta. Sedangkan para penganut paham dunia perbintangan (astronologi), sering menyebut kata keberuntungan sebagai keberpihakan kehendak langit sehingga bintang-bintang akan bergerak dalam posisi yang akan memberikan bantuan dari langit. Bahkan dalam beberapa kepercayaan kuno, terdapat berbagai allah keberuntungan yang rajin disembah oleh penganutnya. Dan sebenarnya ada beragam sebutan yang diberikan untuk kata keberuntungan namun ini memperlihatkan bahwa dalam menghadapi situasi yang tidak pasti, manusia memang membutuhkan bimbingan dan bantuan dari kekuatan yang melampaui apa yang normal dan ini semua dapat diberikan oleh kuasa adimanusiawi. Karena itu, seraya menambah pengetahuan, memperkuat karakter, janganlah lupa untuk selalu meminta bantuan dari Pribadi yang lebih tinggi, penguasa Alam Semesta untuk memberikan bantuan dalam membuat keputusan yang tepat, mengeksekusi semua strategi, dan memimpin dengan penuh kebijakan.

Aza-aza FIGHTING.

Referensi artikel: Are Successful CEOs Just Lucky? (© hbr.org)
Sumber gambar:  © www.theinvestorsjournal.com

Hits: 2650